MAKALAH
PENEGAKAN HAM
(PENGANTAR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN)
Disusun
oleh:
MUHAMMAD FITRAH LUTFIANSYAH
24318639
2TB05
UNIVERSITAS
GUNADARMA
FAKULTAS
TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
TEKNIK
ARSITEKTUR
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis
panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini
dengan penuh kemudahan. Tidak lupa ucapan terima kasih kami sampaikan kepada semua
pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini disusun
untuk menambah wawasan pembaca mengenai Pengantar Pendidikan Kewarganegaraan.
Selain itu makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan
Kewarganegaraan.
Penulis menyadari dalam
penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan,sehingga penulis sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua pihak demi perbaikan
makalah ini. Selanjutnya penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi pembaca.
Depok, 25 Maret 2020
DAFTAR ISI
A.
Latar Belakang
Hak Asasi Manusia
merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia sejak
manusia masih dalam kandungan sampai akhir kematiannya sebagai anugrah
Tuhan. Di dalamnya tidak jarang menimbulkan gesekan-gesekan antar individu
dalam upaya pemenuhan HAM pada dirinya sendiri. Hal inilah yang kemudian bisa
memunculkan pelanggaran HAM seorang individu terhadap individu lain, kelompok
terhadap individu, ataupun sebaliknya.
Memperbincangkan marutnya
dinamika hak asasi manusia, khususnya perburuhan selama dekade terakhir nampaknya
cukup mengingatkan pada nama ini: Marsinah. Terdapat alasan pasti untuk
menghadirkan kembali ingatan tentang orang tersebut: misteri kematiannya yang
tidak pernah terungkap hingga sekarang. Tidak pernah diketahui secara pasti
oleh siapa ia dianiaya dan dibunuh, kapan dan di mana ia mati pun tak dapat
diketahui dengan jelas, apakah pada Rabu malam 5 Mei 1993 atau beberapa hari
sesudahnya. Liputan pers, pencarian fakta, penyidikan polisi, pengadilan
sekalipun nyatanya belum mampu mengungkap kasusnya secara tuntas dan memuaskan.
Kendati hakim telah memvonis siapa yang bersalah dan dihukum, orang tak percaya
begitu saja; sementara kunci kematiannya tetap gelap sampai kini, lebih dari
satu dasawarsa berselang.
Setelah reformasi tahun
1998, Indonesia mulai mengalami kemajuan dalam bidang penegakan HAM bagi
seluruh warganya. Instrumen-instrumen HAM pun didirikan sebagai upaya menunjang
komitmen penegakan HAM yang lebih optimal. Namun seiring dengan kemajuan ini,
pelanggaran HAM kemudian juga sering terjadi di sekitar kita karena semakin
egoisnya manusia dalam pemenuhan hak masing-masing. Untuk itulah kami menyusun
makalah yang berjudul “Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia Di Indonesia –
Marsinah”, untuk memberikan informasi mengenai apa itu pelanggaran HAM diikuti
seluk beluk kasus Marsinah.
B.
Rumusan Masalah
- Apa pengertian
pelanggaran HAM ?
- Apa saja
macam-macam pelanggaran HAM?
- Apa contoh
pelanggaran HAM di Indonesia?
- Apa penyebab dan
akibat dari kasus pelanggaran HAM?
- Bagaimana upaya
penyelesaian kasus pelanggaran HAM?
C.
Tujuan
- Untuk mengetahui
pengertian pelanggaran HAM.
- Untuk mengetahui
macam-macam pelanggaran HAM.
- Untuk mengetahui
contoh pelanggaran HAM di Indonesia.
- Untuk mengetahui
penyebab dan akibat dari kasus pelanggaran HAM.
- Untuk mengetahui
upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM.
BAB II PEMBAHASAN
Hak asasi manusia,
setiap manusia lahir pasti memiliki hak ini, hak yang dimiliki sejak lahir hak
manusia untuk berpendapat dan melakukan yang mereka mau atau dengan kata lain
hak kebebasan manusia.
Menurut Pasal 1 Angka 6
UU No. 39 Tahun 1999 yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi manusia
adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk
aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara
hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia
seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang dan tidak mendapatkan
atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyesalan hukum yang adil dan benar
berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Menurut UU no 26 Tahun
2000 tentang pengadilan HAM, Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang
atau kelompok orng termasuk aparat negara baik disengaja atau kelalaian yang
secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut Hak Asasi
Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang ini, dan
tidak didapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum
yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Dengan demikian pelanggaran
HAM merupakan tindakan pelanggaran kemanusiaan baik dilakukan oleh individu
maupun oleh institusi negara atau institusi lainnya terhadap hak asasi individu
lain tanpa ada dasar atau alasan yuridis dan alasan rasional yang menjadi
pijakannya.
Pelanggaran HAM dikategorikan dalam
dua jenis, yaitu :
- Pembunuhan
massal (genosida)
Genosida adalah setiap perbuatan
yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau
sebagian kelompok bangsa, ras, etnis, dan agama dengan cara melakukan tindakan
kekerasan.
(UUD No.26/2000 Tentang Pengadilan HAM).
- Kejahatan
Kemanusiaan
Kejahatan kemanusiaan
adalah suatu perbuatan yang dilakukan berupa serangan yang ditujukan secara
langsung terhadap penduduk sipil seperti pengusiran penduduk secara paksa,
pembunuhan,penyiksaan, perbudakkan dll.Kasus pelanggaran HAM yang bersifat
ringan, meliputi :
- Pemukulan
- Penganiayaan
- Pencemaran
nama baik
- Menghalangi orang untuk
mengekspresikan pendapatnya
- Menghilangkan nyawa orang lain
Kasus tersebut berawal
dari unjuk rasa buruh yang dipicu surat edaran gubernur setempat mengenai penaikan
UMR. Namun PT. CPS, perusahaan tempat Marsinah bekerja memilih bergeming.
Kondisi ini memicu geram para buruh.
Senin 3 Mei 1993, sebagian besar karyawan
PT. CPS berunjuk rasa dengan mogok kerja hingga esok hari. Ternyata menjelang
selasa siang, manajemen perusahaan dan pekerja berdialog dan menyepakati
perjanjian. Intinya mengenai pengabulan permintaan karyawan dengan membayar
upah sesuai UMR. Sampai di sini sepertinya permasalahan antara perusahaan dan
pekerja telah beres.
Namun esoknya 13 buruh
yang dianggap menghasut unjuk rasa digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim)
Sidoarjo untuk diminta mengundurkan diri dari CPS. Marsinah marah dan tidak
terima, ia berjanji akan menyelesaikan persoalan tersebut ke pengadilan.
Beberapa hari kemudian, Marsinah dikabarkan tewas secara tidak wajar. Mayat
Marsinah ditemukan di gubuk petani dekat hutan Wilangan, Nganjuk tanggal 9
Mei 1993. Posisi mayat ditemukan tergeletak dalam posisi melintang dengan
kondisi sekujur tubuh penuh luka memar bekas pukulan benda keras, kedua
pergelangannya lecet-lecet, tulang panggul hancur karena pukulan benda keras
berkali-kali, pada sela-sela paha terdapat bercak-bercak darah, diduga karena
penganiayaan dengan benda tumpul dan pada bagian yang sama menempel kain putih
yang berlumuran darah.
Secara resmi, Tim Terpadu telah menangkap
dan memeriksa 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan terhadap Marsinah. Salah
seorang dari 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan tersebut adalah Anggota
TNI.
Hasil penyidikan polisi
ketika menyebutkan, Suprapto (pekerja di bagian ontrol CPS) menjemput Marsinah
dengan motornya di dekat rumah kos Marsinah. Dia dibawa ke pabrik, lalu dibawa
lagi dengan Suzuki Carry putih ke rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita,
Surabaya. Setelah tiga hari Marsinah disekap, Suwono (satpam CPS)
mengeksekusinya.
Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17
tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya yang lain itu dihukum berkisar empat hingga
12 tahun, namun mereka naik banding ke Pengadilan Tinggi dan Yudi Susanto
dinyatakan bebas. Dalam proses selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung
Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni).
Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan
sejumlah pihak sehingga muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah
“direkayasa”.
Kasus kematian Marsinah
menjadi misteri selama bertahun-tahun hingga akhirnya kasusnya kadaluarsa tepat
tahun ini, tahun 2014. Mereka yang tertuduh dan dijadikan kambing hitam dalam
kasus ini pun akhirnya dibebaskan oleh Mahkamah Agung. Di zaman Orde Baru, atas
nama stabilitas keamanan dan politik, Negara telah berubah wujud menjadi sosok
yang menyeramkan, siap menculik, mengintimidasi dan bahkan menghilangkan secara
paksa siapa saja yang berani berteriak atas nama kebebasan menyuarakan
aspirasi.
Faktor penyebab dari
kasus Marsinah yang pertama adalah perusahaan CPS yang tidak mengikuti himbauan
gubernur setempat untuk menaikkan UMR. Walaupun kebijakan kenaikan UMR tersebut
sudah dikeluarkan, CPS tetap bergeming. Kondisi ini memicu geram para
pekerjanya sehingga menyebabkan mereka melakukan aksi unjuk rasa dan mogok
kerja.
Lalu faktor penyebab
kedua, adalah manajemen perusahaan CPS yang telah menyepakati perjanjian
penaikan UMR namun rupanya diikuti dengan memberhentikan 13 pekerjanya dengan
cara mencari-cari kesalahan pasca tuntutan kenaikan UMR. Hal ini menjadikan
Marsinah penuh amarah.
A. Dari segi ekonomi :
- Terjadi
kredit macet
- Jatuhnya
nilai tukar rupiah terhadap dollar
- Banyak
perusahaan yang tidak dapat membayar hutangnya
B. Dari segi politik :
- Pemimpian
saat itu telah kehilangan kepercayaan dari rakyatnya
- Terjadi
kekacauan dan kerusuhan di mana-mana
- Terjadi
perpecahan dalam kubu kabinet Soeharto
- Dasar Negara
Pancasila sila ke 2 “Kemanusiaan yang adil dan beradap"
- UUD 1945 pasal 27(3)
“ Setiap warga Negara berhak dan wajib
ikut serta dalam upaya pembelaan Negara”.
Makna yang terkandung : setiap warga negara memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dari negara serta wajib untuk ikut serta dalam upaya pembelaan negara, membela negara tidak harus dalam wujud perang tetapi bisa diwujudkan dengan cara lain seperti:
Makna yang terkandung : setiap warga negara memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dari negara serta wajib untuk ikut serta dalam upaya pembelaan negara, membela negara tidak harus dalam wujud perang tetapi bisa diwujudkan dengan cara lain seperti:
- Ikut serta dalam
mengamankan lingkungan sekitar (seperti siskamling)
- Ikut serta
membantu korban bencana di dalam negeri
- Belajar dengan
tekun pelajaran atau mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan atau pkn
- Selalu menaati dan
melaksanakan peraturan
- Isi dari pasal 30
ayat 4 UUD 1945
“Kepolisian Negara Republik Indonesia
sebagai alat negara yang menjaga kemanan dan
ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta
menegakkan hukum.”
ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta
menegakkan hukum.”
- Tap MPR
No.XVII/MPR/1998 PASAL1
“Menugaskan kepada Lembaga-lembaga Tinggi
Negara dan seluruh Aparatur Pemerintah, untuk menghormati, menegakkan dan
menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi manusia kepada seluruh masyarakat.”
- UU NO. 39 th 1999
pasal 9 – 66, Salah satunya pasal 9
- Setiap orang
berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf
kehidupannya.
- Setiap orang
berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin.
- Setiap orang berhak
atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Tanggal 30 September
1993 telah dibentuk Tim Terpadu Bakorstanasda Jatim untuk melakukan
penyelidikan dan penyidikan kasus pembunuhan Marsinah. Sebagai penanggung jawab
Tim Terpadu adalah Kapolda Jatim dengan Dan Satgas Kadit Reserse Polda Jatim
dan beranggotakan penyidik/penyelidik Polda Jatim serta Den Intel Brawijaya.
Delapan petinggi PT CPS
ditangkap secara diam-diam dan tanpa prosedur resmi, termasuk Mutiari selaku
Kepala Personalia PT CPS dan satu-satunya perempuan yang ditangkap, mengalami
siksaan fisik maupun mental selama diinterogasi di sebuah tempat yang kemudian
diketahui sebagai Kodam V Brawijaya. Setiap orang yang diinterogasi dipaksa
mengaku telah membuat control dan menggelar rapat untuk membunuh Marsinah.
Pemilik PT CPS, Yudi Susanto, juga termasuk salah satu yang ditangkap
Dua orang yang terlibat
dalam otopsi pertama dan kedua jenazah Marsinah, Haryono (pegawai kamar
jenazahRSUD Nganjuk) dan Prof. Dr. Haroen Atmodirono (Kepala Bagian Forensik
RSUD Dr.Sutomo,Surabaya), menyimpulkan, Marsinah tewas akibat penganiayaan
berat.Marsinah memperoleh Penghargaan yap thiem hien pada tahun yang sama.Kasus
ini menjadi catatan Organisasi Buruh Internasional (ILO), dikenal sebagai kasus
1773.
Setelah penyelidik
menangkap 10 petinggi PT CPS dan mereka diidentifikasi Baru 18 hari
kemudian, akhirnya diketahui mereka sudah mendekam di tahanan Polda Jatim
dengan tuduhan terlibat pembunuhan Marsinah. Pengacara Yudi Susanto, Trimoelja
D. Soerjadi, mengungkap adanya rekayasa oknum aparat kodim untuk mencari
kambing hitam pembunuh Marsinah.
Secara resmi, Tim Terpadu
telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan terhadap
Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan tersebut
adalah Anggota TNI.
Di pengadilan, Yudi
Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya yang lain itu
dihukum berkisar empat hingga 12 tahun, namun mereka naik banding ke Pengadilan
Tinggi dan Yudi Susanto dinyatakan bebas. Dalam proses selanjutnya pada tingkat
kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari segala
dakwaan (bebas murni). Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah
menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga muncul tuduhan bahwa
penyelidikan kasus ini adalah “direkayasa”.
Rekayasa kasus
marsinah, adanya banyak kecaman dari berbagai pihak. Kasus Marsinah
seharusnya menjadi salah satu cermin bagi Indonesi.Betapa hokum dapat dibeli
oleh para penguasa .Sementara kasus marsinah sudah tenggelam selama hampir 20
tahun,tapi pembunuhnya entah kemana.Untuk menghindari kasus-kasus seperti ini
terjadi lagi,seharusnya ada tindakan khusus dari pemerintah untuk memberikan
efek jera pada pelaku.
Terkait kasus Marsinah,
solusi dari pemerintah sendiri, pemerintah semestinya segera mengusut tuntas
kasus pembunuhan Marsinah sampai selesai hingga mendapatkan hasil yang nyata,
dan menegakkan tiang keadilan dan ketegasan dalam kerapuhan hukum di Indonesia
sehingga rakyat dapat kembali mempercayai peranan dari pemerintah dan aparat
penegak hukum dalam penegakan HAM di Indonesia.
Sementara solusi dari
hasil rangkuman kami sekelompok, adalah adanya kepastian hukum dalam menjamin
keamanan setiap orang. Setiap orang perlu menghargai hak-haknya sendiri dan hak
orang lain.
Definisi bullying merupakan
sebuah kata serapan dari bahasa Inggris. Bullying berasal dari
kata bully yang artinya penggertak, orang yang mengganggu
orang yang lemah. Beberapa istilah dalam bahasa Indonesia yang seringkali
dipakai masyarakat untuk menggambarkan fenomena bullying di
antaranya adalah penindasan, penggencetan, perpeloncoan, pemalakan, pengucilan,
atau intimidasi (Susanti, 2006).
Barbara Coloroso
(2003:44) : “Bullying adalah tindakan bermusuhan yang dilakukan secara sadar
dan disengaja yang bertujuan untuk menyakiti, seperti menakuti melalui ancaman
agresi dan menimbulkan terror. Termasuk juga tindakan yang direncanakan maupun
yang spontan bersifat nyata atau hampir tidak terlihat, dihadapan seseorang
atau di belakang seseorang, mudah untuk diidentifikasi atau terselubung dibalik
persahabatan, dilakukan oleh seorang anak atau kelompok anak.
Dari berbagai definisi
di atas dapat disimpulkan bahwa bullying merupakan serangan
berulang secara fisik, psikologis, sosial, ataupun verbal, yang dilakukan dalam
posisi kekuatan yang secara situasional didefinisikan untuk keuntungan atau
kepuasan mereka sendiri. Bullying merupakan bentuk awal dari
perilaku agresif yaitu tingkah laku yang kasar. Bisa secara fisik, psikis,
melalui kata-kata, ataupun kombinasi dari ketiganya. Hal itu bisa dilakukan
oleh kelompok atau individu. Pelaku mengambil keuntungan dari orang lain yang
dilihatnya mudah diserang. Tindakannya bisa dengan mengejek nama, korban
diganggu atau diasingkan dan dapat merugikan korban.
Barbara Coloroso
(2006:47-50) membagi jenis-jenis bullying kedalam empat jenis,
yaitu sebagai berikut:
1.
Bullying secara verbal; perilaku
ini dapat berupa julukan nama, celaan, fitnah, kritikankejam, penghinaan, pernyataan-pernyataan
yang bernuansa ajakan seksual atau pelecehan seksual, terror, surat-surat yang
mengintimidasi, tuduhan-tuduhan yang tidak benar kasak-kusuk yang keji dan
keliru, gosip dan sebagainya. Dari ketiga jenis bullying, bullying dalam
bentuk verbal adalah salah satu jenis yang paling mudah dilakukan dan bullying bentuk
verbal akan menjadi awal dari perilaku bullying yang lainnya
serta dapat menjadi langkah pertama menuju pada kekerasan yang lebih lanjut.
2.
Bullying secara fisik; yang termasuk
dalam jenis ini ialah memukuli, menendang, menampar, mencekik, menggigit,
mencakar, meludahi, dan merusak serta menghancurkan barang-barang milik anak
yang tertindas. Kendati bullying jenis ini adalah yang paling
tampak dan mudah untuk diidentifikasi, namun kejadian bullying secara
fisik tidak sebanyak bullying dalam bentuk lain. Remaja yang
secara teratur melakukan bullying dalam bentuk fisik kerap
merupakan remaja yang paling bermasalah dan cenderung akan beralih pada
tindakan-tindakan kriminal yang lebih lanjut.
3.
Bullying secara relasional; adalah
pelemahan harga diri korban secara sistematis melalui pengabaian, pengucilan
atau penghindaran. Perilaku ini dapat mencakup sikap-sikap yang tersembunyi
seperti pandangan yang agresif, lirikan mata, helaan nafas, cibiran, tawa
mengejek dan bahasa tubuh yang mengejek. Bullying dalam bentuk ini cenderung perilaku
bullying yang paling sulit dideteksi dari luar. Bullying secara relasional
mencapai puncak kekuatannya diawal masa remaja, karena saat itu tejadi perubahan
fisik, mental emosional dan seksual remaja. Ini adalah saat ketika remaja
mencoba untuk mengetahui diri mereka dan menyesuaikan diri dengan teman sebaya.
4.
Bullying elektronik; merupakan bentuk
perilaku bullying yang dilakukan pelakunya melalui sarana
elektronik seperti komputer, handphone, internet, website, chatting room,
e-mail, SMS dan sebagainya. Biasanya ditujukan untuk meneror korban dengan
menggunakan tulisan, animasi, gambar dan rekaman video atau film yang sifatnya
mengintimidasi, menyakiti atau menyudutkan. Bullying jenis ini
biasanya dilakukan oleh kelompok remaja yang telah memiliki pemahaman cukup
baik terhadap sarana teknologi informasi dan media elektronik lainnya.
Pada umumnya, anak
laki-laki lebih banyak menggunakan bullying secara fisik dan
anak wanita banyak menggunakan bullying relasional/emosional,
namun keduanya sama-sama menggunakan bullying verbal.
Perbedaan ini, lebih berkaitan dengan pola sosialisasi yang terjadi antara anak
laki-laki dan perempuan (Coloroso, 2006:51).
Bullying dapat terjadi
dimana saja, di perkotaan, pedesaan, sekolah negeri, sekolah swasta, di waktu
sekolah maupun di luar waktu sekolah. Bullying terjadi karena
interaksi dari berbagai faktor yang dapat berasal dari pelaku, korban, dan
lingkungan dimana bullying tersebut terjadi.
Pada umumnya, anak-anak
korban bullying memiliki salah satu atau beberapa faktor
resiko berikut:
- Dianggap “berbeda”, misalnya
memiliki ciri fisik tertentu yang mencolok seperti lebih kurus, gemuk, tinggi,
atau pendek dibandingkan dengan yang lain, berbeda dalam status ekonomi,
memiliki hobi yang tidak lazim, atau menjadi siswa/siswi baru.
- Dianggap lemah atau tidak dapat
membela dirinya.
- Memiliki rasa percaya diri yang
rendah.
- Kurang populer dibandingkan dengan
yang lain, tidak memiliki banyak teman.
Sedangkan untuk
pelaku bullying, Ada beberapa karakteristik anak yang memiliki
kecenderungan lebih besar untuk menjadi pelaku bullying, yaitu
mereka yang:
- Peduli dengan popularitas, memiliki
banyak teman, dan senang menjadi pemimpin diantara teman-temannya. Mereka
dapat berasal dari keluarga yang berkecukupan, memiliki rasa percaya diri
tinggi, dan memiliki prestasi bagus di sekolah. Biasanya mereka melakukan bullying untuk
meningkatkan status dan popularitas di antara teman-teman mereka.
- Pernah menjadi korban bullying.
Mereka juga mungkin mengalami kesulitan diterima dalam pergaulan,
kesulitan dalam mengikuti pelajaran di sekolah, mudah terbawa emosi,
merasa kesepian dan mengalami depresi.
- Memiliki rasa percaya diri yang rendah,
atau mudah dipengaruhi oleh teman-temannya. Mereka dapat menjadi
pelaku bullying karena mengikuti perilaku teman-teman
mereka yang melakukan bullying, baik secara sadar maupun tidak
sadar.
Dalam
penelitian Riauskina, Djuwita, dan Soesetio, (2005) alasan seseorang
melakukan bullying adalah karena korban mempunyai persepsi bahwa pelaku
melakukan bullying karena tradisi, balas dendam karena dia dulu diperlakukan
sama (menurut korban laki-laki), ingin menunjukkan kekuasaan, marah karena korban
tidak berperilaku sesuai dengan yang diharapkan, mendapatkan kepuasan (menurut
korban laki – laki ), dan iri hati (menurut korban perempuan). Adapun korban
juga mempersepsikan dirinya sendiri menjadi korban bullying karena penampilan
yang menyolok, tidak berperilaku dengan sesuai, perilaku dianggap tidak sopan,
dan tradisi.
Menurut psikolog Seto Mulyadi, Bullying disebabkan karena
:
1.
Menurutnya, saat ini
remaja di Indonesia penuh dengan tekanan. Terutama yang datang dari sekolah
akibat kurikulum yang padat dan teknik pengajaran yang terlalu kaku. Sehingga
sulit bagi remaja untuk menyalurkan bakat nonakademisnya Penyalurannya dengan
kejahilan-kejahilan dan menyiksa.
2.
Budaya feodalisme
yang masih kental di masyarakat juga dapat menjadi salah satu penyebab bullying
sebagai wujudnya adalah timbul budaya senioritas, yang bawah harus nurut sama
yang atas.
Melihat dari
bagaimana bullying itu dilakukan, maka Pasal 76C Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak (“UU 35/2014”) telah mengatur bahwa setiap
Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau
turut serta melakukan Kekerasan terhadap Anak. Bagi yang melanggarnya akan
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan
dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah)
[lihat Pasal 80 ayat (1) UU 35/2014].
Pasal 80 UU 35/2014:
(1) Setiap Orang yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76C, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak
Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
(2) Dalam hal Anak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah).
(3) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15
(lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar
rupiah).
(4) Pidana ditambah sepertiga dari
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila
yang melakukan penganiayaan tersebut Orang Tuanya.
Jika bullying ini
dilakukan di lingkungan pendidikan, maka kita perlu melihat juga Pasal
54 UU 35/2014 yang berbunyi:
(1) Anak di dalam dan di
lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak
kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang
dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau
pihak lain.
(2) Perlindungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, aparat
pemerintah, dan/atau Masyarakat.
Ini artinya, sudah
sepatutnya peserta didik di sekolah mendapatkan perlindungan dari
perilaku bully yang berupa tindak kekerasan fisik maupun
psikis. Apabila bullying itu dilakukan pada masa
diselenggarakannya perpeloncoan di sekolah atau yang dikenal dengan nama Masa Orientasi
Sekolah (MOS), dasar hukum yang mengaturnya adalah Surat Direktorat
Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 1383/C.C4/MN/2010
tentang Pelaksanaan MOS yang antara lain mengatakan bahwa agar
kegiatan MOS berjalan sesaui dengan yang diharapkan dan tidak terjadi bias,
seperti adanya bullying, perpeloncoan, pemalakan, dan hal-hal
negatif lainnya; maka seluruh kegiatan MOS dilaksanakan, dibimbing, dan diawasi
guru.
Bullying memiliki berbagai
dampak negatif yang dapat dirasakan oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya,
baik pelaku, korban, ataupun orang-orang yang menyaksikan tindakan bullying.
1.
Dampak bagi korban
Hasil studi yang
dilakukan National Youth Violence Prevention Resource Center Sanders (2003;
dalam Anesty, 2009) menunjukkan bahwa bullying dapat membuat remaja merasa
cemas dan ketakutan, mempengaruhi konsentrasi belajar di sekolah dan menuntun
mereka untuk menghindari sekolah. Bila bullying berlanjut dalam jangka waktu
yang lama, dapat mempengaruhi self-esteem siswa, meningkatkan isolasi sosial,
memunculkan perilaku menarik diri, menjadikan remaja rentan terhadap stress dan
depreasi, serta rasa tidak aman. Dalam kasus yang lebih ekstrim, bullying dapat
mengakibatkan remaja berbuat nekat, bahkan bisa membunuh atau melakukan bunuh
diri (commited suicide).
Coloroso (2006)
mengemukakan bahayanya jika bullying menimpa korban secara berulang-ulang.
Konsekuensi bullying bagi para korban, yaitu korban akan merasa depresi dan
marah, Ia marah terhadap dirinya sendiri, terhadap pelaku bullying, terhadap orang-orang
di sekitarnya dan terhadap orang dewasa yang tidak dapat atau tidak mau
menolongnya. Hal tersebut kemudan mulai mempengaruhi prestasi akademiknya.
Berhubung tidak mampu lagi muncul dengan cara-cara yang konstruktif untuk
mengontrol hidupnya, ia mungkin akan mundur lebih jauh lagi ke dalam
pengasingan.
Terkait dengan
konsekuensi bullying, penelitian Banks (1993, dalam Northwest Regional
Educational Laboratory, 2001; dan dalam Anesty, 2009) menunjukkan bahwa
perilaku bullying berkontribusi terhadap rendahnya tingkat kehadiran, rendahnya
prestasi akademik siswa, rendahnya self-esteem, tingginya depresi, tingginya
kenakalan remaja dan kejahatan orang dewasa. Dampak negatif bullying juga
tampak pada penurunan skor tes kecerdasan (IQ) dan kemampuan analisis siswa.
Berbagai penelitian juga menunjukkan hubungan antara bullying dengan
meningkatnya depresi dan agresi.
2. Dampak bagi pelaku
Sanders (2003; dalam
Anesty, 2009) National Youth Violence Prevention mengemukakan bahwa pada
umumnya, para pelaku ini memiliki rasa percaya diri yang tinggi dengan harga
diri yang tinggi pula, cenderung bersifat agresif dengan perilaku yang pro
terhadap kekerasan, tipikal orang berwatak keras, mudah marah dan impulsif,
toleransi yang rendah terhadap frustasi. Para pelaku bullying ini memiliki
kebutuhan kuat untuk mendominasi orang lain dan kurang berempati terhadap
targetnya.
Apa yang diungkapkan
tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh Coloroso (2006:72) mengungkapkan
bahwa siswa akan terperangkap dalam peran pelaku bullying, tidak dapat
mengembangkan hubungan yang sehat, kurang cakap untuk memandang dari perspektif
lain, tidak memiliki empati, serta menganggap bahwa dirinya kuat dan disukai
sehingga dapat mempengaruhi pola hubungan sosialnya di masa yang akan datang.
Dengan melakukan
bullying, pelaku akan beranggapan bahwa mereka memiliki kekuasaan terhadap
keadaan. Jika dibiarkan terus-menerus tanpa intervensi, perilaku bullying ini
dapat menyebabkan terbentuknya perilaku lain berupa kekerasan terhadap anak dan
perilaku kriminal lainnya.
3.
Dampak bagi siswa lain yang menyaksikan bullying
(bystanders)
Jika bullying dibiarkan
tanpa tindak lanjut, maka para siswa lain yang menjadi penonton dapat berasumsi
bahwa bullying adalah perilaku yang diterima secara sosial. Dalam kondisi ini,
beberapa siswa mungkin akan bergabung dengan penindas karena takut menjadi
sasaran berikutnya dan beberapa lainnya mungkin hanya akan diam saja tanpa melakukan
apapun dan yang paling parah mereka merasa tidak perlu menghentikannya.
Dalam rangka mencegah bullying,
banyak pihak telah menjalankan program dan kampanye anti bullying di
sekolah-sekolah, baik dari pihak sekolah sendiri, maupun organisasi-organisasi
lain yang berhubungan dengan anak. Lalu apakah yang dapat kita –sebagai
perorangan- lakukan untuk memerangi bullying?
1. Membantu anak-anak mengetahui dan
memahami bullying
2. Memberi saran mengenai cara-cara
menghadapi bullying
3. Membangun hubungan dan komunikasi dua
arah dengan anak
4. Mendorong mereka untuk tidak menjadi
“saksi bisu” dalam kasus bullying
5. Membantu anak menemukan minat dan
potensi mereka
6. Memberi teladan lewat sikap dan
perilaku
Apabila kita ingin ikut
serta dalam memerangi bullying, hal paling sederhana yang dapat
kita lakukan adalah dengan tidak melakukan bullying atau
hal-hal lain yang mirip dengan bullying. Disadari maupun tidak,
orang dewasa juga dapat menjadi korban ataupun pelaku bullying,
misalnya dengan melakukan bullying di tempat kerja, ataupun
melakukan kekerasan verbal terhadap orang-orang di sekitar kita.
1) Periode tahun 1945 – 1950 Di periode
ini, pemikiran HAM masih menekankan pada hak merdeka, hak bebas berserikat,
serta hak bebas menyampaikan pendapat. Pemikiran HAM telah mendapat pengakuan
secara formal karena telah memperoleh pengaturan dan masuk ke dalam hukum dasar
negara, yaitu UUD 1945. Komitmen terhadap HAM pada periode awal kerdekaan
ditunjullam dalam Maklumat Pemerintah tanggal 1 November 1945. Di periode ini
(1945-1950) memberikan keleluasaan terhadap rakyat untuk mendirikan partai
politik sebagaimana yang telah tertera pada Maklumat Pemerintah pada tanggal 3
November 1945 :
- Pemerintah menyukai timbulnya
partai-partai politik karena segala aliran paham yang ada dalam masyarakat
dapat dipimpin ke jalan yang teratur dengan adanya partai-partai tersebut.
- Pemerintah berharap partai-partai
itu telah tersusun sebelum dilangsukannya pemilihan anggota badan
perwakilan rakyat pada Januari 1946. Hal ini berkaitan dengan adanya
perubahan yang signifikan terhadap sistem pemerintahan dari presidensial
menjadi sistem parlementer.
2) Periode tahun 1950 – 1959 Periode ini
dalam perjalanan, Indonesia dikenal dengan sebutan “Periode Demokrasi
Parlementer” dimana pemikiran HAM pada periode ini mendapatkan momentum yang
membanggakan. Indikator tentang pemikiran HAM pada periode ini mengalami
“pasang”, menurut ahli hukum tata negara memiliki 5 aspek :
- Semakin banyak tumbuh partai-partai
politik dengan beragam ideologinya masing-masing.
- Kebebasan pers sebagai salah satu
pilar demokrasi, betul- betul menikmati kebebasannya.
- Pemilu sebagai pilar lain dari demokrasi
harus bertanggung jawab dalam suasana kebebasan, fair (adil) dan
demokratis.
- Parlemen/dewan perwakilan rakyat
sebagai wakil rakyat semakin efektif mengontrol terhadapt kinerja
eksekutif.
- Wacana & pemikiran tentang HAM
mendapatkan iklim yang kondusif, sejalan dengan tumbuhnya kekuasaan yang
memberikan ruang kebebasan.
3) Periode tahun 1959 – 1966 Pada periode
ini, sistem pemerintahan Indonesia adala sistem demokrasi terpimpin diamana
kekuasaan terpusat dan berada di tangan presiden. Dalam kaitannya dengan HAM
yaitu telah terjadinya sikap restriktif (pembatasan yang ketat oleh kekuasaan)
terhadap hak sipil dan hak politik warga negara.
4) Periode tahun 1966 – 1998 Pada awal
masa periode ini telah diadakan beberapa seminar tentang HAM. Salah satu seminar
dilaksanakan pada tahun 1967 yang merekomendasikan gagasan tentang perlunya
pembentukan pengadilan HAM, Komisi, dan pengadilan HAM di wilayah Asia. Pada
tahun 1968 diadakan Seminar Hukum Nasional II yang merekomendasikan perlunya
hak uji materiil guna melindungi HAM. Fungsi dari hak uji materiil itu sendiri
dalam rangka pelaksanaan TAP MPRS XIV/MPRS/1996. Namun, pada tahun 1970-an
sampai akhir 1980-an, HAM mengalami kemunduran. Dalam hal ini, upaya masyarakat
dilakukan melalui pembentukan jaringan dan lobi internasional terkait dengan
pelanggaran HAM yang terjadi seperti kasus Tanjung Priok, kasus Kedung Ombo,
kasus DOM di Aceh, dan lain sebagainya. Menjelang periode 1990-an, upaya
masyarakat nampaknya memperoleh hasil yang mengesankan karena terjadi pergeseran
strategi pemerintahan, dari Represif dan Defensif menjadi Akomodatif. Salah sau
sikap akomodatif pemerintah terhadap tuntutan penegakan HAM yaitu dibentuknya
KOMNAS HAM berdasarkan KEPRES Nomor 50 tahun 1993 pada tanggal 7 Juni 1993,
dimana KOMNAS HAM memiliki tugas:
- Memantau & menyelidiki
pelaksanaan HAM & memberi saran serta pendapat kepada pemerintah
perihal HAM.
- Membantu pengembangan kondisi-kondisi
yang kodusif bagi pelaksanaan HAM sesuai pancasila dan UUD 1945 (termasuk
hasil amandemen UUD NKRI 1945), Piagam PBB, Deklarasi Universal HAM dan
deklarasi atau perundang-undangan lainnya yang terkait dengan penegakan
HAM.
5) Periode tahun 1998 – sekarang Pada
saat ini dilakukan pengkajian terhadap beberapa kebijakan pemerintah pada masa
orde baru yang berlawanan dnegan pemajuan dan perlindungan HAM. Kemudian,
dilakukan penyusunan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
pemberlakuan HAM dalam kehidupan ketatanegaraan dan kemasyarakatan di
indonesia, serta pengkajian dan ratifikasi terhadap instrumen HAM internasional
semakin ditingkatkan. Strategi pada periode ini dilakukan melalui 2 tahap,
yaitu:
- Tahap status penentuan (prescriptive
Status) Pada tahap ini telah ditetapkan beberapa ketentuan
perundang-undangan tentang HAM, seperti UUD 1945, TAP MPR, UU, dan
peraturan pemerintah dan ketentuan perundang-undangan lainnya.
- Tahap penataan aturan secara
konsisten ( rule consistent behavior ) Ditandai dengan pemghormatan dan
pemajuan HAM dengan dikeluarkannya TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM
dan disahkannya sejumlah konvensi HAM. Selain itu juga dirancangkan
program “Rencana Aksi Nasional HAM (RANHAM)” pada tanggal 15 Agustus 1998
yang didasarkan kepada :
- Persiapan pengesahan perangkat
Internasional di bidang HAM
- Desiminasi informasi dan pendidikan
tentang HAM 3. Penentuan skala prioritas pelaksanaan HAM 4. Pelaksanaan
isi perangkat internasional di bidang HAM yang telah diratifikasikan melalui
perundang-undangan nasional. Untuk lebih melindungi HAM di Indonesia,
pemerintah telah membuat UU HAM No. 39 tahun 1999 serta UU No. 26 tahun
2000 tentang pengadilan HAM. Melalui keputusan Presiden No. 40 tahun 2004,
Pemerintah telah mengesahlan RANHAM kedua diamana merupakan kelanjutan
RANHAM Indonesia yang pertama tahun 1998-2003. RANHAM disusun untuk menjamin
peningkatan penghormatan, pemajuan, pemenuhan, dan perlindungan HAM di
Indinesia dengan mempertimbangkan nilai-nilai agama, adat-istiadat, dan
budaya bangsa indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan
HAM adalah hak-hak
dasar yang dimiliki oleh manusia sesuai dengan kiprahnya. Setiap individu
mempunyai keinginan agar HAM-nya terpenuhi, tapi satu hal yang perlu kita ingat
bahwa jangan pernah melanggar atau menindas HAM orang lain. Dalam kehidupan bernegara
HAM diatur dan dilindungi oleh perundang-undangan RI, dimana setiap bentuk
pelanggaran HAM baik yang dilakukan oleh seseorang, kelompok atau suatu instansi
atau bahkan suatu Negara akan diadili dalam pelaksanaan peradilan HAM,
pengadilan HAM menempuh proses pengadilan melalui hukum acara peradilan HAM
sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang pengadilan HAM.
Sementara menyangkut
Kasus Marsinah yang merupakan dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat,
karena merupakan kasus penghilangan seseorang secara paksa. Marsinah adalah
tumbal dari apa yang namanya penindasan atas nama stabilitas keamanan dan
politik pada zaman Orde Baru. Penindasan kepada Marsinah adalah bentuk
ketakutan negara pada sosok-sosok yang berani berjuang dan mengobarkan semangat
kebebasan, kesejahteraan dan kesetaraan. Negara menciptakan teror ketakutan
kepada siapa saja yang ingin melakukan aksi perlawanan. Negara juga telah
mengabaikan kasus ini, membiarkannya menjadi misteri yang tak terpecahkan
selama bertahun-bertahun. Ini jelas sebuah anomali dan paradoks jika kita
komparasikan dengan tujuan pembentukan dan kewajiban negara ini
Bullying adalah
suatu contoh kasus pelanggaran HAM ringan yang dilakukan secara berulang-ulang
dimana tindakan tersebut sengaja dilakukan dengan tujuan untuk melukai dan
membuat seseorang merasa tidak nyaman. Pemahaman moral adalah pemahaman
individu yang menekankan pada alasan mengapa suatu tindakan dilakukan dan
bagaimana seseorang berpikir sampai pada keputusan bahwa sesuatu adalah baik
atau buruk. Pemahaman moral bukan tentang apa yang baik atau buruk, tetapi
tentang bagaimana seseorang berpikir sampai pada keputusan bahwa sesuatu adalah
baik atau buruk
Tidak ada komentar:
Posting Komentar